Friday, November 22, 2013

Arti Keindahan bagi Manusia

Pulchrum est splendor veritatis
(Keindahan adalah denyar kebenaran)

Jika kita bertanya kepada orang terdidik pada abad 17-19, apa sebenarnya tujuan dari puisi, seni, atau musik, mereka akan menjawab keindahan. Keindahan adalah sebuah nilai yang sama pentingnya dengan kebenaran dan kebaikan. Lalu di abad ke-20, keindahan berhenti menjadi penting. Seni lebih condong ke arah baru yang mengganggu dan menerobos tabu moral.

Kita sedang kehilangan keindahan. Di dalamnya ada ancaman kita kehilangan arti dari kehidupan. Keindahan menjadi pusat dari peradaban kita lebih dari 2000 tahun dalam bentuk seni, puisi, musik, arsitektur, dan kehidupan sehari-hari.

Dengan mengejar keindahan, kita akan lebih betah di dunia, dan mengerti sifat kita sebagai makhluk rohani.  Namun dunia kita sedang berpaling dari keindahan, karenanya kita menemukan diri dikelilingi oleh keburukan dan keasingan.

Keindahan berarti, dan itu tidak hanya dalam hal yang bersifat subjektif, tapi juga merupakan kebutuhan universal dari manusia. Jika kita mengabaikannya, kita akan berada di kekeringan rohani.

Kehidupan manusia penuh dengan kekacauan dan penderitaan. Namun, obat dari itu semua ialah keindahan. Karya seni yang indah membawa penebusan terhadap kekelaman dan penegasan akan kesenangan. Hal itu menunjukkan kehidupan berharga.

Banyak seniman modern yang letih mengejar keindahan dengan cara klasik. Keacakan kehidupan modern tak bisa ditebus dengan seni, melainkan bisa dipertontonkan saja. Marcel Duchamp, seorang seniman Perancis, pada awal abad ke-20, menunjukkan karya seninya berupa pispot yang ditandanganinya, dan memamerkannya di galeri. Karya itu bersifat satir, untuk mengejek dunia seni dan kejumawaan yang melekat padanya. Namun, banyak yang menerjemahkannya dengan salah, bahwa semuanya dapat menjadi seni: seperti lampu yang menyala dan mati, kaleng yang berisi kotoran, atau tumpukan batu bata. Seni tak lagi memiliki posisi suci. Tak lagi mengangkat kita ke tingkat moral dan spiritual yang lebih tinggi. Ini hanya satu hasil kegiatan manusia diantara yang lain. Tak ada lagi arti yang mendalam, seperti halnya teriakan atau tertawa. Seni dulunya berbakti kepada keindahan, sekarang seakan berpaling kepada kejelekan. Karena dunia bersifat menjijikkan, seni harus juga menjijikkan. Seperti karya damien Hirst, A Thousand Years, yang memamerkan bangkai kepala hewan di pameran. Mereka yang mencari keindahan di dalam seni, dipandang seolah kehilangan kontak dengan kenyataan modern. Seringkali tujuan dari seni macam ini adalah untuk memberi daya kejut kepada kita untuk berefleksi. Namun, yang mulanya memiliki kejutan, akan menjadi hampa dan membosankan apabila diulang-ulang. Hal itu membuat seni menjadi semacam lelucon besar, suatu hal yang sudah lama berhenti kelucuannya. Dimana kritik seni terlalu takut untuk memberi tahu apabila yang disebut seni adalah kosong, dan turut melanggengkan seni jenis ini.

Ide, seakan menonjol, sehingga tiap kali ada ide yang original bisa dibilang seni. Namun, ide saja tidak mencukupi untuk membentuk karya seni. Jika demikian, maka tiap orang bisa menjadi seniman, dan tiap benda bisa menjadi karya seni. Seni post-modern menunjukkan dunia apa adanya, tentang apa yang ada sekarang dan disini dengan semua ketidaksempurnaannya. Namun, apakah dengan demikian, benar-benar seni yang dihasilkan? Tentunya sesuatu bukanlah seni karena menampilkan satu sisi realitas, termasuk kejelekan di dalamnya.

Seni menyangkut kreativitas, dan kreativitas menyangkut berbagi: ada undangan dari seniman untuk melihat dunia sesuai dengan yang dilihatnya. Itulah mengapa kita melihat keindahan dalam karya lukis anak kecil yang naif. Mereka tidak mencoba memberikan ide tentang gambar yang kreatif, apalagi mencoba untuk menunjukkan adanya kejelekan dalam dunia nyata. Mereka hanya ingin mencoba menguatkan dunia sesuai yang mereka lihat, dan berbagi tentang apa yang mereka rasakan.

Sesuatu tentang kesenangan anak kecil atas hasil kreasinya muncul dalam tiap karya seni yang murni. Namun kreativitas tidaklah cukup. Keahlian seniman sejati adalah untuk menunjukkan yang nyata dari ide-ide abstraknya, sehingga dengan demikian mengubahnya. Ini yang dicapai Michael Angelo dalam karyanya Patung David. Namun, apabila kita melihat replika karya ini, misalnya di taman-taman, hal itu tidaklah indah sama sekali, karena kurangnya komposisi kreativitas di dalamnya.

Dalam lingkungan yang demokratis, seringkali dianggap berbahaya untuk menilai cita rasa seseorang. Bahkan ada yang tersinggung ketika mendengar adanya cita rasa baik dan buruk, karena semuanya tergantung kepada pengalaman pribadi seseorang, buku apa yang dibacanya, musik apa didengarnya, dan lukisan apa yang dilihatnya. Namun, cara pikir seperti ini tidak membantu. Ada kaidah umum tentang standar keindahan yang melekat di jiwa masing-masing manusia. Kita perlu menemukannya dan menanamkannya dalam hidup kita.

Mungkin manusia kehilangan kepercayaan kepada keindahan, karena mereka kehilangan kepercayaan kepada yang ideal/kesempurnaan. Yang ada hanyalah dunia selera/keinginan. Tidak ada nilai lain kecuali kegunaan/utilitarianisme. Sesuatu bernilai karena ada guna di dalam mereka. Lalu, apa guna keindahan?

Semua seni adalah tak berguna, tulis Oscar Wilde, yang merupakan pujian. Baginya, keindahan adalah nilai yang lebih tinggi dari kegunaan. Manusia membutuhkan hal yang tak berguna sebanyak, atau bahkan lebih banyak, dari hal yang berguna. Misalnya, apa gunanya cinta, persahabatan, pengabdian? Tidak ada. Hal yang sama berlaku untuk keindahan. Masyarakat konsumen menomorsatukan kegunaan, dan keindahan hanyalah efek samping. Karena seni tidak berguna, maka tidak masalah apapun yang kita baca, dengar, atau saksikan.

Dalam budaya kini, iklan lebih berguna dari karya seni. Seringkali karya seni malah mencoba menangkap perhatian kita seperti iklan, dengan menjadi mewah dan berlebihan, seperti tengkorak platinum berlian karya Damien Hirst berjudul For The Love of God. Seperti iklan, karya seni sekarang bertujuan membentuk merek, walaupun tak ada produk yang dijual kecuali diri mereka sendiri.

Keindahan diserang dari dua sisi: pemberhalaan kejelekan seni dan pementingan utilitas dalam kehidupan sehari-hari. Keduanya bersatu dalam dunia arsitektur. Arsitek mulai letih dengan keindahan. Louis Sullivan, arsitek Amerika, memberi kredo “form follows function”: bentuk mengikuti fungsi. Jangan berpikir bagaimana gedung akan terlihat, tapi pikirkan bagaimana kegunaannya. Hal ini membuat harmoni dan keselarasan dari tempat hidup manusia modern menjadi kacau. Tempat-tempat yang terlalu besar dan menjulang menjadi tidak manusiawi dan tidak nyaman, menciptakan rasa keterasingan di sanubari manusia.  

Semua seni adalah tak berguna. Taruh kegunaan dulu, maka kau akan kehilangannya. Taruh keindahan dulu, maka apa yang kaulakukan akan berguna selamanya. Ternyata tak ada yang lebih berguna dari yang tak berguna. Kita melihatnya dalam arsitektur tradisional. Rincian dari ornamen-ornamen membebaskan kita dari kungkungan utilitas, dan memuaskan kebutuhan kita akan keselarasan. Dengan caranya sendiri, mereka membuat kita nyaman. Mengingatkan kita bahwa tak hanya membutuhkan kebutuhan praktis dan dorongan ketubuhan. Kita juga memiliki kebutuhan rohani dan moral. Dan jika kebutuhan ini tak terpenuhi, begitu juga jiwa kita.

Kita pernah mengalami pengalaman ini bahkan di keseharian, tiba-tiba terbawa oleh hal yang kita saksikan, dari dunia hasrat menuju alam perenungan yang tinggi. Secerah cahaya pagi, musik kenangan yang teringat, wajah kekasih yang terbayang, mendominasi dalam lamunan kita: tiba-tiba kehidupan jadi bernilai, menjadi berharga untuk dijalani. Ini adalah saat-saat yang seakan berhenti, dimana kita merasakan dunia lain yang lebih agung. Para penyair dan filsuf merasakan pengalaman akan keindahan memanggil mereka ke yang ilahiah.

Plato mengatakan keindahan adalah tanda akan adanya tingkatan lain yang lebih tinggi. Dia adalah seorang idealis yang percaya bahwa manusia ialah peziarah di dunia ini yang selalu mendamba dunia di atasnya, di realitas puncak dimana kita akan bersatu dengan tuhan.

Tuhan berada di dunia transedental, dimana manusia mendambanya, tetapi kita tak bisa mengetahuinya langsung. Namun satu cara mengintipnya di dunia ini melalui keindahan. Hal ini menimbulkan paradoks. Keindahan menurut Plato terutama ialah dari wajah dan bentuk manusia. Kecintaan akan keindahan menurutnya menghasilkan eros (cinta romantik) yang merupakan kekuatan kosmis yang mengalir melalui kita dalam bentuk hasrat seksual. Namun jika keindahan manusia memunculkan hasrat, bagaimana hal ini bisa dihubungkan dengan tuhan? Hasrat hanya untuk mereka yang hidup di dunia ini. Hasrat seksual memberi dua pilihan: pengagungan ataukah hasrat; cinta ataukah nafsu. Cinta adalah tentang memberi, sedangkan nafsu adalah mengambil. Nafsu membawa kejelekan, kejelekan dari hubungan manusia dimana satu orang memperlakukan yang lain seperti alat. Untuk mencapai sumber keindahan, nafsu harus dikalahkan. Kecintaan tanpa nafsu inilah yang kita sebut sekarang sebagai cinta platonik.

Saat kita menemukan keindahan di sosok yang muda, itu dikarenakan kita mengintip cahaya keabadian bersinar dari sosok itu dari sumber langit di luar dunia ini. Tubuh manusia yang indah adalah undangan untuk bersatu dengannya secara spiritual, bukan fisik. Perasaan tentang keindahan karenanya bersifat relijuius daripada emosi sensual. Keindahan ialah pengunjung dari dunia lain, kita tak bisa melakukan apapun terhadapnya, kecuali merenungi pancaran murninya. Segala sesuatu lainnya merusak dan mengotori aura keagungannya. Keindahan adalah untuk direnungkan bukan dimiliki.

Keindahan yang asli berada di atas hasrat seksual. Kita dengan demikian bisa menemukan keindahan tak hanya pada tubuh muda yang molek, tapi juga dalam wajah yang penuh dengan roman ketuaan, kesedihan, sekaligus kebijaksanaan, seperti karya Rembrandt, Potrait of Nicolaes Ruts. Keindahan wajah berada pada hidup yang disimbolkan terpantul darinya, seakan daging telah berubah menjadi ruh. Ketika memandangnya kita seakan bisa melihat langsung ke dalam jiwa. Pelukis ini penting untuk  menunjukkan bahwa keindahan berada di sekitar kita, dari hal-hal yang sepertinya biasa saja. Yang perlu kita punya ialah mata yang jeli dan hati yang peka untuk menangkapnya. Hal yang paling sederhana bisa ditangkap menjadi hal yang luar biasa indah oleh pelukis, kita seakan bisa melihat ke jantung dari semua hal di dalamnya.

Selama kepercayaan akan tuhan transedental masih menetap di jantung peradaban, seniman dan filsuf tetap merasakan keindahan dengan cara Plato: keindahan ialah wahyu dari tuhan pada saat ini dan di tempat ini juga. Pendekatan agamis tentang keindahan ini berlangsung hampir selama 2 milinea. Namun, revolusi sains telah menebar keraguan. Dunia dianggap sebagai jam mekanik yang diperintah oleh mekanika fisika yang steril. Ini adalah masa pencerahan dimana tidak ada ruang lagi untuk tuhan dan jiwa.  Tak ada tempat untuk nilai dan idealisme. Tak ada tempat untuk apapun kecuali pergerakan jam mekanis semesta yang teratur,  yang membuat bulan memutari bumi, bumi memutari matahari, dengan tanpa tujuan apapun.

Dalam jantung dunia fisika Newton, terdapat lubang berbentuk tuhan (god-shaped hole), sebuah kekosongan spiritual. Menurut Third Earl of Charlesburry, sains menjelaskan dunia, tapi masih kurang lengkap dari satu perspektif. Manusia bisa melihat dengan persepektif ini, dengan cara tidak untuk mencoba menjelaskan atau mencarinya, tapi dengan hanya berkontemplasi atasnya. Misalkan saat kita melihat pemandangan atau bunga. Buah pikir bahwa dunia ini secara mendasar memiliki arti, penuh dengan ketertarikan, sehingga tak perlu satu doktrin agamapun untuk melihatnuya, menjawab sebuah pertanyaan tentang kebutuhan emosi yang mendalam. Keindahan tidak ditanam di dunia oleh tuhan, tapi ditemukan di dalamnya oleh manusia.

Buah pikir ini mendorong apresiasi akan keindahan, yang menaikkan penghargaan atas alam dan seni, pada tempat yang dulunya ditempati dengan penyembahan atas ilahi. Keindahan ialah untuk menutup lubang berbentuk tuhan yang tercipta oleh sains. Tidak perlu karya seni untuk menyajikan kita keindahan dari dunia, kita hanya perlu melihat hal-hal di dunia ini dengan mata yang jernih dan perasaan yang bebas.

Berhenti menggunakan, mengeksploitasi, atau menjelaskan segala sesuatu, tapi berusahalah melihatnya, lalu kita akan mengerti apa makna mereka. Pesan dari sekuntum bunga ialah bunga. Dengan mengesampingkan semua kepentingan kita, kita akan mengetahui hal yang sejati dari sebuah bunga. Dengan melihat dengan cara demikian, kita menemukan keindahannya. Pengalaman keindahan datang saat kita menepikan kepentingan kita di satu sisi, saat kita melihat sesuatu bukan untuk menggunakannya untuk tujuan kita atau menjelaskannya bagaimana keadaan mereka, atau untuk memuaskan kebutuhan atau hasrat tertentu, tapi untuk hanya “menyerap”-nya  dan menerima apa adanya mereka. Misalkan saat kita meliihat bayi, kita tak ingin menggunakannya, atau membuat penelitian ilmiah atasnya, kita hanya ingin melihatnya, dan merasakan kegembiraan yang sangat atas keindahan itu. Ini yang disebut Immanuel Kant sebagai disinterested attitude (perilaku tak-berkepentingan).

Sulit untuk menjelaskan semua ini kecuali kita sendiri pernah mengalami. Namun, kita semua pernah pada suatu saat mengalaminya. Mendengarkan bagian musik yang indah, melihat pemandangan yang agung, membaca puisi yang menyentuh, semua orang yang mengalaminya akan merasakan, ya, itu indah. Namun kenapa pengalam seperti ini penting?

Pengalaman bertemu keindahan begitu nyata, begitu cepat, begitu personal, tapi sepertinya juga bukanlah milik dari dunia keseharian. Namun, keindahan juga terpancar dari hal yang sederhana. Apakah ini bagian dari ciri dunia ini, ataukah fiksi imajinasi manusia? Apapun jawabnya, keindahan memiliki arti yang mendalam dalam memberikan manusia kesadaran akan dirinya yang memiliki jiwa spiritual dan moral yang berharga.

No comments:

Post a Comment