Pulchrum est
splendor veritatis
(Keindahan
adalah denyar kebenaran)
Jika kita
bertanya kepada orang terdidik pada abad 17-19, apa sebenarnya tujuan dari puisi,
seni, atau musik, mereka akan menjawab keindahan. Keindahan adalah sebuah nilai
yang sama pentingnya dengan kebenaran dan kebaikan. Lalu di abad ke-20,
keindahan berhenti menjadi penting. Seni lebih condong ke arah baru yang
mengganggu dan menerobos tabu moral.
Kita sedang
kehilangan keindahan. Di dalamnya ada ancaman kita kehilangan arti dari
kehidupan. Keindahan menjadi pusat dari peradaban kita lebih dari 2000 tahun
dalam bentuk seni, puisi, musik, arsitektur, dan kehidupan sehari-hari.
Dengan
mengejar keindahan, kita akan lebih betah di dunia, dan mengerti sifat kita
sebagai makhluk rohani. Namun dunia kita
sedang berpaling dari keindahan, karenanya kita menemukan diri dikelilingi oleh
keburukan dan keasingan.
Keindahan
berarti, dan itu tidak hanya dalam hal yang bersifat subjektif, tapi juga
merupakan kebutuhan universal dari manusia. Jika kita mengabaikannya, kita akan
berada di kekeringan rohani.
Kehidupan
manusia penuh dengan kekacauan dan penderitaan. Namun, obat dari itu semua
ialah keindahan. Karya seni yang indah membawa penebusan terhadap kekelaman dan
penegasan akan kesenangan. Hal itu menunjukkan kehidupan berharga.
Banyak
seniman modern yang letih mengejar keindahan dengan cara klasik. Keacakan
kehidupan modern tak bisa ditebus dengan seni, melainkan bisa dipertontonkan
saja. Marcel Duchamp, seorang seniman Perancis, pada awal abad ke-20,
menunjukkan karya seninya berupa pispot yang ditandanganinya, dan memamerkannya
di galeri. Karya itu bersifat satir, untuk mengejek dunia seni dan kejumawaan
yang melekat padanya. Namun, banyak yang menerjemahkannya dengan salah, bahwa
semuanya dapat menjadi seni: seperti lampu yang menyala dan mati, kaleng yang
berisi kotoran, atau tumpukan batu bata. Seni tak lagi memiliki posisi suci.
Tak lagi mengangkat kita ke tingkat moral dan spiritual yang lebih tinggi. Ini
hanya satu hasil kegiatan manusia diantara yang lain. Tak ada lagi arti yang
mendalam, seperti halnya teriakan atau tertawa. Seni dulunya berbakti kepada
keindahan, sekarang seakan berpaling kepada kejelekan. Karena dunia bersifat
menjijikkan, seni harus juga menjijikkan. Seperti karya damien Hirst, A Thousand
Years, yang memamerkan bangkai kepala hewan di pameran. Mereka yang mencari
keindahan di dalam seni, dipandang seolah kehilangan kontak dengan kenyataan
modern. Seringkali tujuan dari seni macam ini adalah untuk memberi daya kejut
kepada kita untuk berefleksi. Namun, yang mulanya memiliki kejutan, akan
menjadi hampa dan membosankan apabila diulang-ulang. Hal itu membuat seni
menjadi semacam lelucon besar, suatu hal yang sudah lama berhenti kelucuannya.
Dimana kritik seni terlalu takut untuk memberi tahu apabila yang disebut seni
adalah kosong, dan turut melanggengkan seni jenis ini.
Ide, seakan
menonjol, sehingga tiap kali ada ide yang original bisa dibilang seni. Namun,
ide saja tidak mencukupi untuk membentuk karya seni. Jika demikian, maka tiap
orang bisa menjadi seniman, dan tiap benda bisa menjadi karya seni. Seni
post-modern menunjukkan dunia apa adanya, tentang apa yang ada sekarang dan
disini dengan semua ketidaksempurnaannya. Namun, apakah dengan demikian,
benar-benar seni yang dihasilkan? Tentunya sesuatu bukanlah seni karena
menampilkan satu sisi realitas, termasuk kejelekan di dalamnya.
Seni
menyangkut kreativitas, dan kreativitas menyangkut berbagi: ada undangan dari
seniman untuk melihat dunia sesuai dengan yang dilihatnya. Itulah mengapa kita
melihat keindahan dalam karya lukis anak kecil yang naif. Mereka tidak mencoba
memberikan ide tentang gambar yang kreatif, apalagi mencoba untuk menunjukkan
adanya kejelekan dalam dunia nyata. Mereka hanya ingin mencoba menguatkan dunia
sesuai yang mereka lihat, dan berbagi tentang apa yang mereka rasakan.
Sesuatu
tentang kesenangan anak kecil atas hasil kreasinya muncul dalam tiap karya seni
yang murni. Namun kreativitas tidaklah cukup. Keahlian seniman sejati adalah
untuk menunjukkan yang nyata dari ide-ide abstraknya, sehingga dengan demikian
mengubahnya. Ini yang dicapai Michael Angelo dalam karyanya Patung David.
Namun, apabila kita melihat replika karya ini, misalnya di taman-taman, hal itu
tidaklah indah sama sekali, karena kurangnya komposisi kreativitas di dalamnya.
Dalam
lingkungan yang demokratis, seringkali dianggap berbahaya untuk menilai cita
rasa seseorang. Bahkan ada yang tersinggung ketika mendengar adanya cita rasa
baik dan buruk, karena semuanya tergantung kepada pengalaman pribadi seseorang,
buku apa yang dibacanya, musik apa didengarnya, dan lukisan apa yang
dilihatnya. Namun, cara pikir seperti ini tidak membantu. Ada kaidah umum
tentang standar keindahan yang melekat di jiwa masing-masing manusia. Kita
perlu menemukannya dan menanamkannya dalam hidup kita.
Mungkin
manusia kehilangan kepercayaan kepada keindahan, karena mereka kehilangan
kepercayaan kepada yang ideal/kesempurnaan. Yang ada hanyalah dunia
selera/keinginan. Tidak ada nilai lain kecuali kegunaan/utilitarianisme. Sesuatu
bernilai karena ada guna di dalam mereka. Lalu, apa guna keindahan?
Semua seni
adalah tak berguna, tulis Oscar Wilde, yang merupakan pujian. Baginya,
keindahan adalah nilai yang lebih tinggi dari kegunaan. Manusia membutuhkan hal
yang tak berguna sebanyak, atau bahkan lebih banyak, dari hal yang berguna.
Misalnya, apa gunanya cinta, persahabatan, pengabdian? Tidak ada. Hal yang sama
berlaku untuk keindahan. Masyarakat konsumen menomorsatukan kegunaan, dan
keindahan hanyalah efek samping. Karena seni tidak berguna, maka tidak masalah
apapun yang kita baca, dengar, atau saksikan.
Dalam budaya
kini, iklan lebih berguna dari karya seni. Seringkali karya seni malah mencoba
menangkap perhatian kita seperti iklan, dengan menjadi mewah dan berlebihan,
seperti tengkorak platinum berlian karya Damien Hirst berjudul For The Love of
God. Seperti iklan, karya seni sekarang bertujuan membentuk merek, walaupun tak
ada produk yang dijual kecuali diri mereka sendiri.
Keindahan
diserang dari dua sisi: pemberhalaan kejelekan seni dan pementingan utilitas
dalam kehidupan sehari-hari. Keduanya bersatu dalam dunia arsitektur. Arsitek
mulai letih dengan keindahan. Louis Sullivan, arsitek Amerika, memberi kredo “form
follows function”: bentuk mengikuti fungsi. Jangan berpikir bagaimana gedung
akan terlihat, tapi pikirkan bagaimana kegunaannya. Hal ini membuat harmoni dan
keselarasan dari tempat hidup manusia modern menjadi kacau. Tempat-tempat yang
terlalu besar dan menjulang menjadi tidak manusiawi dan tidak nyaman,
menciptakan rasa keterasingan di sanubari manusia.
Semua seni adalah
tak berguna. Taruh kegunaan dulu, maka kau akan kehilangannya. Taruh keindahan
dulu, maka apa yang kaulakukan akan berguna selamanya. Ternyata tak ada yang lebih
berguna dari yang tak berguna. Kita melihatnya dalam arsitektur tradisional. Rincian
dari ornamen-ornamen membebaskan kita dari kungkungan utilitas, dan memuaskan
kebutuhan kita akan keselarasan. Dengan caranya sendiri, mereka membuat kita
nyaman. Mengingatkan kita bahwa tak hanya membutuhkan kebutuhan praktis dan
dorongan ketubuhan. Kita juga memiliki kebutuhan rohani dan moral. Dan jika
kebutuhan ini tak terpenuhi, begitu juga jiwa kita.
Kita pernah
mengalami pengalaman ini bahkan di keseharian, tiba-tiba terbawa oleh hal yang
kita saksikan, dari dunia hasrat menuju alam perenungan yang tinggi. Secerah cahaya
pagi, musik kenangan yang teringat, wajah kekasih yang terbayang, mendominasi
dalam lamunan kita: tiba-tiba kehidupan jadi bernilai, menjadi berharga untuk
dijalani. Ini adalah saat-saat yang seakan berhenti, dimana kita merasakan
dunia lain yang lebih agung. Para penyair dan filsuf merasakan pengalaman akan
keindahan memanggil mereka ke yang ilahiah.
Plato
mengatakan keindahan adalah tanda akan adanya tingkatan lain yang lebih tinggi.
Dia adalah seorang idealis yang percaya bahwa manusia ialah peziarah di dunia
ini yang selalu mendamba dunia di atasnya, di realitas puncak dimana kita akan
bersatu dengan tuhan.
Tuhan berada
di dunia transedental, dimana manusia mendambanya, tetapi kita tak bisa mengetahuinya
langsung. Namun satu cara mengintipnya di dunia ini melalui keindahan. Hal ini
menimbulkan paradoks. Keindahan menurut Plato terutama ialah dari wajah dan bentuk
manusia. Kecintaan akan keindahan menurutnya menghasilkan eros (cinta romantik)
yang merupakan kekuatan kosmis yang mengalir melalui kita dalam bentuk hasrat
seksual. Namun jika keindahan manusia memunculkan hasrat, bagaimana hal ini
bisa dihubungkan dengan tuhan? Hasrat hanya untuk mereka yang hidup di dunia
ini. Hasrat seksual memberi dua pilihan: pengagungan ataukah hasrat; cinta ataukah
nafsu. Cinta adalah tentang memberi, sedangkan nafsu adalah mengambil. Nafsu membawa
kejelekan, kejelekan dari hubungan manusia dimana satu orang memperlakukan yang
lain seperti alat. Untuk mencapai sumber keindahan, nafsu harus dikalahkan. Kecintaan
tanpa nafsu inilah yang kita sebut sekarang sebagai cinta platonik.
Saat kita
menemukan keindahan di sosok yang muda, itu dikarenakan kita mengintip cahaya
keabadian bersinar dari sosok itu dari sumber langit di luar dunia ini. Tubuh
manusia yang indah adalah undangan untuk bersatu dengannya secara spiritual,
bukan fisik. Perasaan tentang keindahan karenanya bersifat relijuius daripada emosi
sensual. Keindahan ialah pengunjung dari dunia lain, kita tak bisa melakukan
apapun terhadapnya, kecuali merenungi pancaran murninya. Segala sesuatu lainnya
merusak dan mengotori aura keagungannya. Keindahan adalah untuk direnungkan
bukan dimiliki.
Keindahan yang
asli berada di atas hasrat seksual. Kita dengan demikian bisa menemukan
keindahan tak hanya pada tubuh muda yang molek, tapi juga dalam wajah yang
penuh dengan roman ketuaan, kesedihan, sekaligus kebijaksanaan, seperti karya
Rembrandt, Potrait of Nicolaes Ruts. Keindahan wajah berada pada hidup yang
disimbolkan terpantul darinya, seakan daging telah berubah menjadi ruh. Ketika memandangnya
kita seakan bisa melihat langsung ke dalam jiwa. Pelukis ini penting untuk menunjukkan bahwa keindahan berada di sekitar
kita, dari hal-hal yang sepertinya biasa saja. Yang perlu kita punya ialah mata
yang jeli dan hati yang peka untuk menangkapnya. Hal yang paling sederhana bisa
ditangkap menjadi hal yang luar biasa indah oleh pelukis, kita seakan bisa
melihat ke jantung dari semua hal di dalamnya.
Selama kepercayaan
akan tuhan transedental masih menetap di jantung peradaban, seniman dan filsuf
tetap merasakan keindahan dengan cara Plato: keindahan ialah wahyu dari tuhan
pada saat ini dan di tempat ini juga. Pendekatan agamis tentang keindahan ini
berlangsung hampir selama 2 milinea. Namun, revolusi sains telah menebar
keraguan. Dunia dianggap sebagai jam mekanik yang diperintah oleh mekanika
fisika yang steril. Ini adalah masa pencerahan dimana tidak ada ruang lagi
untuk tuhan dan jiwa. Tak ada tempat
untuk nilai dan idealisme. Tak ada tempat untuk apapun kecuali pergerakan jam
mekanis semesta yang teratur, yang
membuat bulan memutari bumi, bumi memutari matahari, dengan tanpa tujuan
apapun.
Dalam jantung
dunia fisika Newton, terdapat lubang berbentuk tuhan (god-shaped hole),
sebuah kekosongan spiritual. Menurut Third Earl of Charlesburry, sains
menjelaskan dunia, tapi masih kurang lengkap dari satu perspektif. Manusia bisa
melihat dengan persepektif ini, dengan cara tidak untuk mencoba menjelaskan
atau mencarinya, tapi dengan hanya berkontemplasi atasnya. Misalkan saat kita melihat
pemandangan atau bunga. Buah pikir bahwa dunia ini secara mendasar memiliki
arti, penuh dengan ketertarikan, sehingga tak perlu satu doktrin agamapun untuk
melihatnuya, menjawab sebuah pertanyaan tentang kebutuhan emosi yang mendalam. Keindahan
tidak ditanam di dunia oleh tuhan, tapi ditemukan di dalamnya oleh manusia.
Buah pikir
ini mendorong apresiasi akan keindahan, yang menaikkan penghargaan atas alam
dan seni, pada tempat yang dulunya ditempati dengan penyembahan atas ilahi. Keindahan
ialah untuk menutup lubang berbentuk tuhan yang tercipta oleh sains. Tidak
perlu karya seni untuk menyajikan kita keindahan dari dunia, kita hanya perlu
melihat hal-hal di dunia ini dengan mata yang jernih dan perasaan yang bebas.
Berhenti
menggunakan, mengeksploitasi, atau menjelaskan segala sesuatu, tapi berusahalah
melihatnya, lalu kita akan mengerti apa makna mereka. Pesan dari sekuntum bunga
ialah bunga. Dengan mengesampingkan semua kepentingan kita, kita akan
mengetahui hal yang sejati dari sebuah bunga. Dengan melihat dengan cara
demikian, kita menemukan keindahannya. Pengalaman keindahan datang saat kita
menepikan kepentingan kita di satu sisi, saat kita melihat sesuatu bukan untuk menggunakannya
untuk tujuan kita atau menjelaskannya bagaimana keadaan mereka, atau untuk
memuaskan kebutuhan atau hasrat tertentu, tapi untuk hanya “menyerap”-nya dan menerima apa adanya mereka. Misalkan saat
kita meliihat bayi, kita tak ingin menggunakannya, atau membuat penelitian
ilmiah atasnya, kita hanya ingin melihatnya, dan merasakan kegembiraan yang sangat
atas keindahan itu. Ini yang disebut Immanuel Kant sebagai disinterested
attitude (perilaku tak-berkepentingan).
Sulit untuk
menjelaskan semua ini kecuali kita sendiri pernah mengalami. Namun, kita semua
pernah pada suatu saat mengalaminya. Mendengarkan bagian musik yang indah,
melihat pemandangan yang agung, membaca puisi yang menyentuh, semua orang yang
mengalaminya akan merasakan, ya, itu indah. Namun kenapa pengalam seperti ini
penting?
Pengalaman bertemu
keindahan begitu nyata, begitu cepat, begitu personal, tapi sepertinya juga
bukanlah milik dari dunia keseharian. Namun, keindahan juga terpancar dari hal
yang sederhana. Apakah ini bagian dari ciri dunia ini, ataukah fiksi imajinasi
manusia? Apapun jawabnya, keindahan memiliki arti yang mendalam dalam memberikan
manusia kesadaran akan dirinya yang memiliki jiwa spiritual dan moral yang
berharga.
No comments:
Post a Comment