Friday, October 11, 2013

Manusia sebagai Makhluk Sosial dan Budaya


Manusia adalah makhluk sosial. Sosial berarti berkelompok, sebagai lawan dari soliter atau bersendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia tak ada yang hidup sendiri. Sejak zaman prasejarah manusia bekerja sama dengan sesamanya, atau bahkan dengan makhluk lain, untuk bertahan hidup. Mereka berkelompok untuk menangkap hewan buruan yang kekuatannya jauh melebihi manusia, seperti bison, banteng, kerbau, atau harimau. Pakaian, alat-alat rumah tangga, senjata, bahan bangunan, dan lain-lain yang diperlukan manusia untuk hidup, tak dapat dipenuhi atau sulit sekali dibuat oleh seorang manusia semata. Ketergantungan antarmanusia tercipta dan terjadilah tukar-menukar barang kebutuhan hidup atau barter. Suka atau tidak tiap manusia membutuhkan sesamanya untuk bertahan hidup, atau untuk bertahan hidup dengan jalan yang lebih mudah. Menjadi makhluk sosial menjadi tak terelakkan bagi manusia.
Secara ketubuhan atau anatomis, seorang calon ibu tak dapat melahirkan anaknya sendiri tanpa mengalami kesulitan atau cedera yang parah. Tidak seperti simpanse, kuda, atau kucing, yang oleh keadaan biologisnya tidak kesulitan dalam melahirkan anaknya sendirian. Untuk melanjutkan keturunan, manusia tidak dapat membelah diri seperti bakteri, atau memotong tubuh seperti cacing kremi. Manusia perlu sesamanya yang berlainan jenis kelamin untuk memiliki anak. Seseorang yang terisolasi dan tak mendapat kesempatan untuk berhubungan dengan sesamanya, seperti dalam pengurungan atau pengasingan, akan mengalami tekanan psikis dan mental yang pada akhirnya akan membuat mereka menjadi tidak waras. Kebutuhan untuk berinteraksi dengan makhluk lain yang sejenis membuat manusia menjadi sosial.
Keberadaan bahasa yang disimbolkan oleh bebunyian yang dihasilkan pita suara manusia menunjukkan dengan sendirinya kesosialan manusia. Sebagai sarana untuk menunjukkan ekspresi, emosi, perasaan, dan pikiran, serta alat untuk menyampaikan/mengkomunikasikan diri, bahasa yang dimiliki manusia dengan demikian membutuhkan setidaknya dua orang/pihak untuk berfungsi efektif: seorang komunikator yang mengirim pesan dan komunikan yang menangkapnya. Kemampuan berbahasa atau berkomunikasi yang khas dalam bahasa ini tidak dimiliki oleh makhluk lain. Meskipun burung bisa berkicau dan seolah menyampaikan ekspresinya, tapi itu bukanlah bahasa. Walaupun kicauan memiliki makna, makna itu hanya terbatas pada penyampaian simbol/sinyal akan keadaan tertentu yang berkaitan dengan kelangsungan hidup kelompoknya. Misalnya ketika ada ular, macan, kebakaran, burung berkicau untuk menandakan ada bahaya bagi kelompoknya. Kicauan juga bisa berarti rayuan terhadap pasangan, ancaman/gertakan terhadap lawan, atau menandakan ketakutan. Bebunyian dalam dunia hewan terbatas pada tingkat tertentu dan belum bisa menandingi kecanggihan bahasa manusia yang secara penuh dan kaya mengekspresikan diri dan berkomunikasi. Ayam dapat berkotek, anjing menyalak, kerbau melenguh, tapi makna komunikasinya tidak setara dengan tingkat kerumitan bahasa manusia. Meskipun kesemuanya itu dapat juga disebut “bahasa” dan merupakan tanda dari makhluk sosial yang suka berkumpul untuk mengatur dirinya.
Dengan tekanan untuk bertahan hidup yang akhirnya memunculkan inovasi bahasa untuk lebih efisien mengorganisasikan diri, manusia mengembangkan kelompok sosial. Kegiatan sosial manusia menjadi tidak terbatas untuk memenuhi kebutuhan primer/pokok untuk bertahan hidup saja, melainkan melahirkan kebutuhan lain, yaitu kebutuhan untuk bersosialisasi itu sendiri. Bahasa yang awalnya untuk mengatur kelompok agar mampu mendapat sumber daya bertahan hidup, menjadi alat perekat menjaga hubungan antarmanusia. Hubungan anatarmanusia itu lalu berubah menjadi suatu kebutuhan tersendiri. Manusia sekarang cenderung menjadi makhluk sosial justru untuk memenuhi kebutuhan menjaga hubungan dengan sesamanya ini. Dengan canggihnya bahasa, hubungan antarmanusia menjadi kompleks/rumit. Sekelompok manusia yang memiliki kegiatan yang serupa membentuk golongan-golongan tertentu. Inilah yang disebut dengan kelas sosial. Manusia yang berkelompok untuk memenuhi kebutuhan memperoleh daging hewan buruan disebut pemburu. Mereka yang pekerjaannya menghasilkan makanan dari tanam-menanam disebut petani. Mereka yang bekerja membuat perkakas disebut tukang. Masih banyak lagi contoh pengelompokan sosial berdasarkan pekerjaan. Selain itu, kelas sosial juga bisa terbentuk berdasarkan keturunan, jumlah kekayaan, suku, ras, dan lain-lain perbedaan. Masing-masing kelas sosial berhubungan dengan kelompoknya sendiri atau dengan kelompok lain dengan cara yang khas, sesuai dengan perkembangan hubungan, kekuasaan, kepentingan, dan nilai sosial.
Pembentukan kelas sosial itu terjadi pada seluruh manusia yang tinggal di berbagai belahan bumi. Karena terdapat berbagai perbedaan dalam tempat tinggal, iklim, bentang alam, jenis makanan, dan lain-lainnya, perilaku manusia untuk hidup menjadi berupa-rupa. Cara yang berbeda untuk melakukan suatu hal ini disebut dengan budaya. Manusia yang hidup di bentang es, padang pasir, pantai, atau pedalaman hutan, memiliki cara yang berbeda atau kebiasaan yang berlainan dalam misalnya makan. Manusia yang hidup di bentang es tak perlu khawatir daging buruannya basi, sehingga mereka dapat menimbun lama-lama persediaan makanan. Hal itu tentu berbeda dengan yang tinggal di padang pasir. Mereka yang hidup di pantai memiliki pola makanan yang lebih rendah lemak dibanding yang hidup di pedalaman hutan, karena menu dasar mereka ikan-ikanan dan bukan daging. Keadaan-keadaan tersebut menimbulkan kebiasaan dan perilaku yang berbeda antarkelompok manusia dalam menjalani hidupnya. Perbedaan-perbedaan itu menimbulkan budaya-budaya yang dihasilkan manusia menjadi beraneka ragam.
Setelah mendapatkan kemudahan dalam memperolah kebutuhan dasarnya, untuk makan, dengan kerja sama berkelompok, manusia memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan hal lain. Mereka mulai menjelajahi kemampuan bahasa dalam menyampaikan berbagai pengalamannya ketika berburu dan meramu. Timbullah budaya dongeng-mendongeng. Berkembanglah ide-ide yang lebih maju, dan muncullah lagu-laguan, dan tari-tarian, dengan jalinan pemaknaan bahasa, untuk mengekspresikan dan mengkomunikasikan pandangan hidup. Untuk menceritakan ketakutan, ketidakberdayaan, dan ketidakpastian yang selalu melingkupi manusia dalam berjumpa dengan alam, manusia mulai menciptakan konsep tentang adanya kekuatan yang lebih kuat mengatasi semuanya. Muncullah pengertian tentang dewa-dewa dan kekuatan gaib, tentang nasib dan religi. Ungkapan manusia untuk menunjukkan penjelajahannya dalam berbahasa yang melahirkan seni, religi, dan filsafat itu membuat keanekaragaman budaya rohani. Untuk mengungkap rasa syukur terdapat kelompok manusia yang melarung hasil bumi ke laut, menyembelih ternak, menyembah ke langit, atau membakar menyan atau petasan. Untuk mengkhidmati hadirnya kematian, beberapa kelompok manusia mengubur jenazah, dan ada beberapa yang lain membakarnya. Untuk menunjukkan hormat kepada manusia lain, manusia bisa membungkuk, mengangkat tangan di samping kening, atau mengangguk.
Terdapat banyak peristiwa dalam kehidupan yang selalu menjadi perhatian manusia: kelahiran, kematian, pernikahan, musibah, bencana, gerhana, panen, dan lain-lain. Kesemua peristiwa itu pada mulanya tidak menjadi hal yang begitu penting ketika manusia belum memiliki cukup waktu untuk merenung dan membicarakan maknanya dengan sesama. Semakin canggih dan maju kemampuan manusia menutupi kebutuhan pokoknya, semakin berkembang kebutuhan sekunder dan tersier yang terkait dengan alam perasaan dan akal budi, bukannya jasmani. Norma, nilai, dan kesusilaan, serta hukum adat mulai lahir sebagai reaksi budaya akan munculnya kesadaran akan pentingnya menjadi makhluk yang beradab.
Kebudayaan ialah hasil karya cipta, rasa, dan karsa manusia yang bersifat luhur dan tidak bersifat keduniawian. Walaupun wujud dari hasil kebudayaan ini bisa berbentuk fisik, seperti artefak, guci, candi, dan arca, tetapi benda-benda itu selalu mengandung nilai metafisika atau pandangan hidup yang melekat. Nilai-nilai itu dituangkan dalam bentuk seni dan sistem kehidupan sosial. Pengalaman manusia sebagai makhluk yang berpikir selalu menerjemahkan kenyataan atau realitas di dunia dengan cara dan bentuk yang beragam. Mereka menyembah pohon besar, batu, bintang, bulan, sapi, dan patung, yang dianggap perwujudan ilahi atau Realitas Yang Sejati. Dalam mencari makna akan keberadaan hidup, manusia menemukan kebudayaan teologis yang mengitarkan kegiatan manusia dalam suatu kisah besar/mitos untuk menjelaskan dan memberikan rasa aman akan keberadaan mereka di muka bumi. Dalam Buddha, manusia ialah satu bentuk kehidupan yang terus berproses untuk menuju kesempurnaan melalui proses reinkarnasi yang berulang-ulang. Dalam agama samawi, manusia ialah makhluk tersempurna yang terjungkal dari surga karena godaan jahat, yang tujuan hidupnya di bumi ialah untuk berjuang kembali ke firdaus dengan melakukan perbuatan baik. Dalam mondialisme materialistik, manusia ialah bagian alam yang akan kembali ke dalamnya dalam siklus materi dan perubahan energi yang tak habis-habis. Manusia dalam mengeluarkan daya hidupnya selalu berkarya dalam mengerahkan potensi-potensi intelektualitas dan spiritualitasnya untuk menyumbangkan sesuatu dalam kebudayaan. Segala perbuatan manusia–hasil buah cipta, rasa, dan karsa–pada akhirnya adalah suatu sumbangan bagi berdirinya kebudayaan manusia secara keseluruhan.

No comments:

Post a Comment