Manusia adalah makhluk sosial. Sosial berarti berkelompok, sebagai lawan
dari soliter atau bersendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia tak ada yang
hidup sendiri. Sejak zaman prasejarah manusia bekerja sama dengan sesamanya,
atau bahkan dengan makhluk lain, untuk bertahan hidup. Mereka berkelompok untuk
menangkap hewan buruan yang kekuatannya jauh melebihi manusia, seperti bison,
banteng, kerbau, atau harimau. Pakaian, alat-alat rumah tangga, senjata, bahan
bangunan, dan lain-lain yang diperlukan manusia untuk hidup, tak dapat dipenuhi
atau sulit sekali dibuat oleh seorang manusia semata. Ketergantungan antarmanusia
tercipta dan terjadilah tukar-menukar barang kebutuhan hidup atau barter. Suka atau
tidak tiap manusia membutuhkan sesamanya untuk bertahan hidup, atau untuk
bertahan hidup dengan jalan yang lebih mudah. Menjadi makhluk sosial menjadi
tak terelakkan bagi manusia.
Secara ketubuhan atau anatomis, seorang calon ibu tak dapat melahirkan
anaknya sendiri tanpa mengalami kesulitan atau cedera yang parah. Tidak seperti
simpanse, kuda, atau kucing, yang oleh keadaan biologisnya tidak kesulitan
dalam melahirkan anaknya sendirian. Untuk melanjutkan keturunan, manusia tidak
dapat membelah diri seperti bakteri, atau memotong tubuh seperti cacing kremi. Manusia
perlu sesamanya yang berlainan jenis kelamin untuk memiliki anak. Seseorang yang
terisolasi dan tak mendapat kesempatan untuk berhubungan dengan sesamanya, seperti
dalam pengurungan atau pengasingan, akan mengalami tekanan psikis dan mental
yang pada akhirnya akan membuat mereka menjadi tidak waras. Kebutuhan untuk
berinteraksi dengan makhluk lain yang sejenis membuat manusia menjadi sosial.
Keberadaan bahasa yang disimbolkan oleh bebunyian yang dihasilkan pita
suara manusia menunjukkan dengan sendirinya kesosialan manusia. Sebagai sarana
untuk menunjukkan ekspresi, emosi, perasaan, dan pikiran, serta alat untuk
menyampaikan/mengkomunikasikan diri, bahasa yang dimiliki manusia dengan
demikian membutuhkan setidaknya dua orang/pihak untuk berfungsi efektif:
seorang komunikator yang mengirim pesan dan komunikan yang menangkapnya. Kemampuan
berbahasa atau berkomunikasi yang khas dalam bahasa ini tidak dimiliki oleh
makhluk lain. Meskipun burung bisa berkicau dan seolah menyampaikan ekspresinya,
tapi itu bukanlah bahasa. Walaupun kicauan memiliki makna, makna itu hanya terbatas
pada penyampaian simbol/sinyal akan keadaan tertentu yang berkaitan dengan
kelangsungan hidup kelompoknya. Misalnya ketika ada ular, macan, kebakaran, burung
berkicau untuk menandakan ada bahaya bagi kelompoknya. Kicauan juga bisa
berarti rayuan terhadap pasangan, ancaman/gertakan terhadap lawan, atau menandakan
ketakutan. Bebunyian dalam dunia hewan terbatas pada tingkat tertentu dan belum
bisa menandingi kecanggihan bahasa manusia yang secara penuh dan kaya mengekspresikan
diri dan berkomunikasi. Ayam dapat berkotek, anjing menyalak, kerbau melenguh,
tapi makna komunikasinya tidak setara dengan tingkat kerumitan bahasa manusia. Meskipun
kesemuanya itu dapat juga disebut “bahasa” dan merupakan tanda dari makhluk
sosial yang suka berkumpul untuk mengatur dirinya.
Dengan tekanan untuk bertahan hidup yang akhirnya memunculkan inovasi
bahasa untuk lebih efisien mengorganisasikan diri, manusia mengembangkan kelompok
sosial. Kegiatan sosial manusia menjadi tidak terbatas untuk memenuhi
kebutuhan primer/pokok untuk bertahan hidup saja, melainkan melahirkan
kebutuhan lain, yaitu kebutuhan untuk bersosialisasi itu sendiri. Bahasa yang
awalnya untuk mengatur kelompok agar mampu mendapat sumber daya bertahan hidup,
menjadi alat perekat menjaga hubungan antarmanusia. Hubungan anatarmanusia itu lalu
berubah menjadi suatu kebutuhan tersendiri. Manusia sekarang cenderung menjadi
makhluk sosial justru untuk memenuhi kebutuhan menjaga hubungan dengan
sesamanya ini. Dengan canggihnya bahasa, hubungan antarmanusia menjadi
kompleks/rumit. Sekelompok manusia yang memiliki kegiatan yang serupa membentuk
golongan-golongan tertentu. Inilah yang disebut dengan kelas sosial. Manusia yang
berkelompok untuk memenuhi kebutuhan memperoleh daging hewan buruan disebut
pemburu. Mereka yang pekerjaannya menghasilkan makanan dari tanam-menanam
disebut petani. Mereka yang bekerja membuat perkakas disebut tukang. Masih banyak
lagi contoh pengelompokan sosial berdasarkan pekerjaan. Selain itu,
kelas sosial juga bisa terbentuk berdasarkan keturunan, jumlah kekayaan, suku,
ras, dan lain-lain perbedaan. Masing-masing kelas sosial berhubungan
dengan kelompoknya sendiri atau dengan kelompok lain dengan cara yang khas,
sesuai dengan perkembangan hubungan, kekuasaan, kepentingan, dan nilai sosial.
Pembentukan kelas sosial itu terjadi pada seluruh manusia yang tinggal di
berbagai belahan bumi. Karena terdapat berbagai perbedaan dalam tempat tinggal,
iklim, bentang alam, jenis makanan, dan lain-lainnya, perilaku manusia untuk
hidup menjadi berupa-rupa. Cara yang berbeda untuk melakukan suatu hal ini
disebut dengan budaya. Manusia yang hidup di bentang es, padang pasir, pantai,
atau pedalaman hutan, memiliki cara yang berbeda atau kebiasaan yang berlainan
dalam misalnya makan. Manusia yang hidup di bentang es tak perlu khawatir
daging buruannya basi, sehingga mereka dapat menimbun lama-lama persediaan
makanan. Hal itu tentu berbeda dengan yang tinggal di padang pasir. Mereka yang
hidup di pantai memiliki pola makanan yang lebih rendah lemak dibanding yang
hidup di pedalaman hutan, karena menu dasar mereka ikan-ikanan dan bukan
daging. Keadaan-keadaan tersebut menimbulkan kebiasaan dan perilaku yang berbeda
antarkelompok manusia dalam menjalani hidupnya. Perbedaan-perbedaan itu
menimbulkan budaya-budaya yang dihasilkan manusia menjadi beraneka ragam.
Setelah mendapatkan kemudahan dalam memperolah kebutuhan dasarnya, untuk
makan, dengan kerja sama berkelompok, manusia memiliki lebih banyak waktu untuk
melakukan hal lain. Mereka mulai menjelajahi kemampuan bahasa dalam
menyampaikan berbagai pengalamannya ketika berburu dan meramu. Timbullah budaya
dongeng-mendongeng. Berkembanglah ide-ide yang lebih maju, dan muncullah
lagu-laguan, dan tari-tarian, dengan jalinan pemaknaan bahasa, untuk
mengekspresikan dan mengkomunikasikan pandangan hidup. Untuk menceritakan
ketakutan, ketidakberdayaan, dan ketidakpastian yang selalu melingkupi manusia
dalam berjumpa dengan alam, manusia mulai menciptakan konsep tentang adanya
kekuatan yang lebih kuat mengatasi semuanya. Muncullah pengertian tentang dewa-dewa
dan kekuatan gaib, tentang nasib dan religi. Ungkapan manusia untuk menunjukkan
penjelajahannya dalam berbahasa yang melahirkan seni, religi, dan filsafat itu
membuat keanekaragaman budaya rohani. Untuk mengungkap rasa syukur terdapat
kelompok manusia yang melarung hasil bumi ke laut, menyembelih ternak, menyembah
ke langit, atau membakar menyan atau petasan. Untuk mengkhidmati hadirnya kematian, beberapa
kelompok manusia mengubur jenazah, dan ada beberapa yang lain membakarnya. Untuk
menunjukkan hormat kepada manusia lain, manusia bisa membungkuk, mengangkat
tangan di samping kening, atau mengangguk.
Terdapat banyak peristiwa dalam kehidupan yang selalu menjadi perhatian
manusia: kelahiran, kematian, pernikahan, musibah, bencana, gerhana, panen, dan
lain-lain. Kesemua peristiwa itu pada mulanya tidak menjadi hal yang begitu
penting ketika manusia belum memiliki cukup waktu untuk merenung dan membicarakan
maknanya dengan sesama. Semakin canggih dan maju kemampuan manusia menutupi
kebutuhan pokoknya, semakin berkembang kebutuhan sekunder dan tersier yang
terkait dengan alam perasaan dan akal budi, bukannya jasmani. Norma, nilai, dan
kesusilaan, serta hukum adat mulai lahir sebagai reaksi budaya akan munculnya
kesadaran akan pentingnya menjadi makhluk yang beradab.
Kebudayaan ialah hasil karya cipta, rasa, dan karsa manusia yang bersifat
luhur dan tidak bersifat keduniawian. Walaupun wujud dari hasil kebudayaan ini
bisa berbentuk fisik, seperti artefak, guci, candi, dan arca, tetapi benda-benda
itu selalu mengandung nilai metafisika atau pandangan hidup yang melekat. Nilai-nilai
itu dituangkan dalam bentuk seni dan sistem kehidupan sosial. Pengalaman manusia
sebagai makhluk yang berpikir selalu menerjemahkan kenyataan atau realitas di
dunia dengan cara dan bentuk yang beragam. Mereka menyembah pohon besar, batu,
bintang, bulan, sapi, dan patung, yang dianggap perwujudan ilahi atau Realitas Yang
Sejati. Dalam mencari makna akan keberadaan hidup, manusia menemukan kebudayaan
teologis yang mengitarkan kegiatan manusia dalam suatu kisah besar/mitos untuk
menjelaskan dan memberikan rasa aman akan keberadaan mereka di muka bumi. Dalam
Buddha, manusia ialah satu bentuk kehidupan yang terus berproses untuk menuju
kesempurnaan melalui proses reinkarnasi yang berulang-ulang. Dalam agama
samawi, manusia ialah makhluk tersempurna yang terjungkal dari surga karena
godaan jahat, yang tujuan hidupnya di bumi ialah untuk berjuang kembali ke
firdaus dengan melakukan perbuatan baik. Dalam mondialisme materialistik,
manusia ialah bagian alam yang akan kembali ke dalamnya dalam siklus materi dan
perubahan energi yang tak habis-habis. Manusia dalam mengeluarkan daya hidupnya
selalu berkarya dalam mengerahkan potensi-potensi intelektualitas dan
spiritualitasnya untuk menyumbangkan sesuatu dalam kebudayaan. Segala perbuatan
manusia–hasil buah cipta, rasa, dan karsa–pada akhirnya adalah suatu sumbangan
bagi berdirinya kebudayaan manusia secara keseluruhan.